Hukum Puasa Rajab dan Qadha Ramadhan: Boleh Digabung kah? Ini Kata Ulama
Kajian Islam – Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai hukum menggabungkan puasa sunnah Rajab dengan puasa qadha Ramadhan. Beberapa ulama memperbolehkannya, sementara yang lain tidak membenarkannya. Artikel ini akan menguraikan perbedaan pendapat tersebut secara rinci.
Rajab merupakan salah satu dari empat bulan mulia dalam Islam (asyhurul hurum). Menurut pendapat yang kuat, Rajab menempati urutan ketiga sebagai bulan yang paling utama untuk melakukan puasa sunnah setelah Ramadhan dan Muharram. Bulan Rajab juga merupakan bulan yang berdekatan dengan Ramadhan, sehingga banyak umat Islam yang memiliki tanggungan qadha puasa Ramadhan mulai mencicilnya di bulan ini.
Syekh Ibnu Hajar dalam kitab Fatawi-nya menyebutkan bahwa Rasulullah SAW menganjurkan puasa di dalam bulan-bulan mulia, dan Rajab termasuk salah satunya:
رَوَى أَبُوْ دَاوُدَ أَنَّهُ صلى اللَّهُ عليه وسلم نَدَبَ الصَّوْمَ في الْأَشْهُرِ الْحُرُمِ وَرَجَبُ أَحَدُهَا
Artinya: “Abu Dawud meriwayatkan bahwa Rasulullah saw menganjurkan puasa di dalam bulan-bulan mulia, dan Rajab termasuk salah satunya.” (HR. Abu Dawud). (Ibnu Hajar Al-Haitami, Fatawil Fiqhiyyah Al-Kubro [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah: 2018] juz II, halaman 23)
Syekh Zainuddin Al-Malibari dalam kitab Fathul Muin juga menjelaskan bahwa bulan yang paling utama untuk puasa setelah Ramadhan adalah bulan-bulan mulia, dan yang paling utama adalah Muharram, kemudian Rajab, kemudian Dzulhijjah, dan Dzulqo’dah:
فَرْعٌ) أَفْضَلُ الشُّهُوْرِ لِلصَّوْمِ بَعْدَ رَمَضَانَ الْأَشْهُرُ الْحُرُمُ وَأَفْضَلُهَا الْمُحَرَّمُ ثُمَّ رَجَبُ ثُمَّ الْحِجَّةُ ثُمَّ الْقَعْدَةُ
Artinya: “(Cabang) bulan yang paling utama untuk puasa setelah Ramadhan adalah bulan-bulan mulia, dan yang paling utama adalah bulan Muharram, kemudian Rajab, kemudian Dzulhijjah kemudian Dzulqo’dah.” (Zainuddin Al-Malibari, Fathul Muin [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah: 1998] halaman 95)
Mengenai hukum menggabungkan puasa sunnah Rajab dengan puasa qadha Ramadhan, terdapat dua pendapat utama:
Pendapat Ulama Muta’akhirin: Sejumlah ulama muta’akhirin berpendapat bahwa jika seseorang melakukan puasa wajib (seperti qadha atau nadzar) di bulan Rajab, maka ia tetap mendapatkan pahala puasa wajib dan sekaligus pahala puasa sunnah Rajab. Mereka mengqiyaskan hal ini dengan puasa tasu’a, asyura, dan 6 hari Syawal.
Pendapat Imam An-Nawawi: Imam An-Nawawi dalam kitab Al-Majmu’ berpendapat bahwa jika seseorang melakukan puasa dengan dua niat sekaligus (puasa sunnah Rajab dan qadha atau nadzar), maka puasanya tidak sah dan tidak mendapatkan pahala keduanya. Pendapat ini juga diikuti oleh Syekh Zainuddin Al-Malibari dalam kitab Fathul Muin.
Syekh Zainuddin Al-Malibari menjelaskan pendapat Imam An-Nawawi sebagai berikut:
فَرْعٌ) أَفْتَى جَمْعٌ مُتَأَخِّرُوْنَ بِحُصُولِ ثَوَابِ عَرَفَةَ وَمَا بَعْدَهُ بِوُقُوْعِ صَوْمِ فَرْضٍ فِيْهَا خِلَافًا لِلْمَجْمُوْعِ وَتَبِعَهُ الْأَسْنَوِي فَقَالَ إِنْ نَوَاهُمَا لَمْ يَحْصُلْ لَهُ شَيْءٌ مِنْهُمَا قَالَ شَيْخُنَا كَشَيْخِهِ وَالَّذِي يَتَّجِهُ أَنَّ الْقَصْدَ وُجُوْدُ صَوْمٍ فِيْهَا فَهِيَ كَالتَّحِيَّةِ فَإِنْ نَوَى التَّطَوُّعَ أَيْضًا حَصَلَا وَإِلَّا سَقَطَ عَنْهُ الطَّلَبُ
Artinya: “(Cabang) sejumlah Ulama Mutaakhkhirin mengeluarkan fatwa tentang diperolehnya pahala puasa ‘Arafah dan puasa sunnah berikutnya (seperti puasa tasu’a, asyura’ dan 6 hari Syawal) dengan melakukan puasa fardlu di dalamnya, berbeda dengan pendapat kitab Majmu’ dan diikuti oleh Al-Asnawi. Ia mengatakan, jika seseorang niat keduanya (puasa ‘Arafah dan puasa fardlu) maka keduanya tidak diperoleh (tidak sah). Pendapat guru kami, sebagaimana pendapat gurunya mengatakan, hal yang dikedepankan bahwa yang dimaksud adalah adanya puasa pada hari ‘Arafah, maka puasa ‘Arafah itu seperti shalat tahiyatul masjid, jika seseorang (dalam waktu yang sama) juga niat Sunnah (lain) maka keduanya mendapat pahala, jika tidak diniati, maka gugur anjurannya.”
Perbedaan pendapat ini muncul karena perbedaan sudut pandang mengenai anjuran puasa Rajab, apakah dianjurkan secara khusus atau cukup dengan melaksanakan puasa pada bulan tersebut. Ulama muta’akhirin berpendapat bahwa yang penting adalah melaksanakan puasa dalam waktu tersebut, sedangkan Imam An-Nawawi berpendapat bahwa puasa Rajab dianjurkan secara khusus dan tidak cukup dengan melakukan puasa lain.
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa hukum melaksanakan puasa sunnah Rajab sekaligus diniati qadha puasa Ramadhan terdapat dua pendapat yang berbeda. Pendapat pertama menyatakan sah dan mendapatkan dua pahala sekaligus, sementara pendapat kedua menyatakan tidak sah. Masing-masing pendapat ini dapat diikuti, karena perbedaan pendapat dalam masalah furu’ (cabang) dalam fiqih adalah hal yang dibenarkan dan menjadi rahmat, terlebih jika disampaikan oleh ulama mazhab terkemuka. Wallahu a’lam.



