Wacana Redenominasi Rupiah Kembali Menguat di Tengah Stabilitas Ekonomi Nasional
Wacana redenominasi rupiah atau penyederhanaan nominal mata uang kembali mencuat ke permukaan. Kali ini, isu tersebut muncul dalam Rencana Strategis Kementerian Keuangan 2025–2029 yang baru saja disahkan oleh Menteri Purbaya Yudhi Sadewa.
Kebijakan redenominasi bukanlah hal baru di Indonesia. Sejak lebih dari satu dekade lalu, topik ini sudah berkali-kali dikaji oleh pemerintah dan para ekonom. Mayoritas pakar menilai, penerapan redenominasi dapat memberikan banyak manfaat — mulai dari efisiensi transaksi hingga peningkatan citra mata uang nasional di mata internasional.
Apa Itu Redenominasi Rupiah?
Mengutip Indonesia Treasury Review Volume 2 Nomor 4 Tahun 2017, redenominasi diartikan sebagai penyederhanaan penulisan nominal uang dengan skala baru tanpa mengubah nilai tukarnya terhadap barang dan jasa.
Artinya, jika kebijakan ini diterapkan, maka uang Rp 1.000 akan ditulis menjadi Rp 1, tanpa mengubah daya belinya. Nilai transaksi tetap sama, hanya penulisan nominalnya yang lebih ringkas.
Rencana redenominasi pertama kali digulirkan oleh Bank Indonesia (BI) pada tahun 2010. Setahun kemudian, Menteri Keuangan saat itu, Agus Martowardojo, mengusulkan Rancangan Undang-Undang Redenominasi Rupiah ke DPR dan memasukkannya ke dalam Prolegnas prioritas 2013. Namun, hingga kini, kebijakan tersebut belum juga direalisasikan.
Empat Manfaat Utama Redenominasi Rupiah
Menurut kajian Indonesia Treasury Review tahun 2017 berjudul Desain Strategis dan Assessment Kesiapan Redenominasi di Indonesia, ada empat manfaat utama dari penerapan redenominasi rupiah.
- Menyederhanakan Transaksi dan Pencatatan Akuntansi
Penghilangan tiga nol di belakang rupiah membuat nominal uang menjadi lebih ringkas dan mudah digunakan dalam transaksi sehari-hari maupun pencatatan keuangan.
Bagi perusahaan besar, digit angka yang terlalu panjang sering kali menyulitkan sistem akuntansi dan perangkat lunak perbankan, terutama untuk angka di atas 10 triliun. Redenominasi akan memangkas kompleksitas itu.
- Menekan Risiko Kesalahan Transaksi
Jumlah digit yang terlalu banyak juga meningkatkan risiko kesalahan manusia (human error) dalam penginputan angka. Dengan penyederhanaan nominal, tingkat kesalahan administratif dapat ditekan secara signifikan.
- Memudahkan Pengendalian Inflasi dan Kebijakan Moneter
Dari sisi otoritas moneter, penyederhanaan nominal membantu memperkecil rentang harga konsumsi, sehingga lebih mudah dalam pengawasan harga dan pengelolaan inflasi nasional.
- Menghemat Biaya Pencetakan Uang
Dengan variasi nominal yang lebih sedikit, biaya produksi uang kertas akan lebih efisien. Selain itu, uang logam (coin) berpotensi memiliki masa edar lebih lama.
“Redenominasi rupiah dapat memberi manfaat besar jika dilakukan secara sistematis, terencana, dan terukur. Terutama dalam menghadapi era perdagangan bebas dan fluktuasi dolar AS,” tulis kajian tersebut.
Dampak Psikologis dan Persepsi Pasar
Ekonom senior Raden Pardede menilai redenominasi rupiah juga memiliki efek psikologis terhadap persepsi pasar keuangan. Pemangkasan tiga nol dari mata uang, seperti mengubah Rp 1.000 menjadi Rp 1, dapat menimbulkan kesan positif terhadap kekuatan rupiah.
“Secara psikologis, kita jadi lebih percaya diri. Misalnya kurs dolar tidak lagi Rp 15.000, tapi Rp 15, kesannya mata uang kita tidak jauh beda dengan dolar AS,” ujar Raden dalam program Central Banking pada 2023.
Namun, ia menegaskan bahwa redenominasi tidak secara langsung memperkuat nilai tukar rupiah terhadap dolar. Kurs tetap dipengaruhi oleh faktor fundamental ekonomi seperti neraca pembayaran, inflasi, arus modal asing, hingga tingkat utang negara.
“Keuntungannya hanya sebatas persepsi psikologis. Tidak lebih dari itu,” tegasnya.
Mengapa Beberapa Negara Tidak Melakukan Redenominasi?
Raden menjelaskan, beberapa negara maju seperti Jepang dan Korea Selatan hingga kini belum menerapkan redenominasi, meski mata uang mereka juga memiliki nominal tinggi terhadap dolar AS.
“Jepang berada di kisaran 140 yen per dolar, Korea Selatan sekitar 1.300 won per dolar. Mereka tidak merasa perlu menyederhanakan nominal karena fokus pada penguatan nilai tukar riil,” ujarnya.
Menurutnya, redenominasi biasanya dilakukan oleh negara-negara yang mengalami hiperinflasi atau krisis ekonomi berat, seperti Zimbabwe, Turki, dan Brasil. Dalam konteks Indonesia yang relatif stabil, urgensinya tidak setinggi itu.
“Untuk Indonesia, redenominasi sifatnya administratif, untuk mempermudah pencatatan dan transaksi, bukan untuk memperkuat rupiah,” jelas Raden.
Pernyataan Bank Indonesia Fokus pada Efisiensi
Pandangan serupa juga disampaikan oleh Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo. Dalam pernyataannya tahun 2022, Perry menilai redenominasi rupiah memiliki potensi besar untuk meningkatkan efisiensi ekonomi dan sistem pembayaran nasional.
“Dari sisi ekonomi, manfaat redenominasi cukup banyak, terutama terkait efisiensi,” ujar Perry.
Menurutnya, dengan mengurangi tiga nol pada mata uang, sistem transaksi digital dan teknologi perbankan akan berjalan lebih cepat dan ringan.
“Jumlah nol yang banyak membuat proses transaksi lambat. Tanpa tiga nol, penyelesaian transaksi akan lebih cepat dan efisien,” jelasnya.
Perry menegaskan, kebijakan ini bukan bertujuan mengubah nilai tukar rupiah, melainkan untuk meningkatkan efektivitas sistem keuangan nasional di tengah kemajuan teknologi dan digitalisasi ekonomi.
Tantangan Implementasi Sosialisasi dan Kepercayaan Publik
Meski memiliki sejumlah manfaat, penerapan redenominasi rupiah tetap membutuhkan perencanaan matang dan waktu transisi yang panjang. Salah satu tantangan utama adalah membangun kepercayaan masyarakat, agar tidak menimbulkan kekhawatiran akan devaluasi atau perubahan nilai uang.
Pengalaman dari negara lain menunjukkan, transisi redenominasi yang sukses selalu diawali dengan edukasi publik dan sosialisasi masif selama beberapa tahun sebelum peluncuran resmi.
Pemerintah pun perlu memastikan bahwa stabilitas ekonomi, inflasi, dan situasi politik dalam negeri berada dalam kondisi terkendali sebelum kebijakan ini diterapkan.
Menimbang Ulang Waktu yang Tepat untuk Redenominasi Rupiah
Kembali bergulirnya wacana redenominasi rupiah dalam Renstra Kemenkeu 2025–2029 menandakan bahwa pemerintah belum meninggalkan gagasan ini. Namun, pelaksanaannya memerlukan persiapan matang, baik dari sisi kebijakan moneter, teknologi sistem pembayaran, maupun kesiapan sosial masyarakat.
Bila diterapkan dengan perencanaan yang baik, redenominasi dapat menjadi langkah modernisasi mata uang nasional, memperkuat efisiensi transaksi, dan menyederhanakan sistem ekonomi digital Indonesia di masa depan.
Namun jika terburu-buru, risiko mispersepsi publik justru bisa menghambat manfaat yang diharapkan. Karena itu, seperti disampaikan banyak ekonom, kebijakan ini bukan soal nilai uang, tetapi soal kepercayaan. (selsy).



