Pagi sunyi di Kota Solo tiba-tiba diselimuti suasana duka. Karena pada Minggu (2/11/2025) pagi, legenda hidup dan pemimpin tradisi di Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, Paku Buwono XIII, berpulang setelah perjuangan panjang melawan penyakit. Kepergian sosok yang dikenal sebagai penjaga keseimbangan antara adat, budaya, dan kehidupan modern ini meninggalkan kekosongan yang sulit tergantikan.
Keseriusan Kepemimpinan dan Profil Singkat
Dari pengangkatan takhta hingga perjuangan tradisi
Paku Buwono XIII naik ke takhta Keraton Surakarta pada 10 September 2004 menggantikan ayahandanya Paku Buwono XII. Di bawah kepemimpinannya, keraton ini tidak hanya menjadi kemasan sejarah semata, melainkan juga ruang hidup yang terus mencoba meneruskan nilai-nilai Jawa dalam era yang kian modern. Keterlibatannya dalam menjaga tata adat keraton dan hubungan dengan masyarakat menjadi salah satu catatan penting dalam perjalanan pemerintahan beliau.
Sosok yang melampaui posisi ritual
Tidak sekadar figur simbolik, Paku Buwono XIII dikenal sebagai pemimpin yang aktif mempromosikan kesejahteraan masyarakat keraton, pengembangan pendidikan karakter, bahkan antikorupsi—sesuatu yang relatif jarang dijumpai dalam konteks keraton tradisional. “Visi itu akarnya adalah moderasi kebijaksanaan dan ketahanan diri,” demikian ungkap salah satu sentana dalem yang mengenang beliau.
Penyebab Wafat & Proses Kesedihan
Penyakit lama dan komplikasi usia
Menurut keterangan kerabat dan pihak keraton, beliau telah lama dirawat di rumah sakit sejak September lalu, mengalami komplikasi seperti diabetes, dan kondisi kesehatan yang menurun karena usia. Di pagi hari 2 November, pukul kira-kira 07.30 WIB, keputusan takdir membawa beliau pulang ke rahmatullah.
Suasana duka di keraton dan masyarakat
Sejak pengumuman wafatnya, kompleks Keraton Surakarta berubah menjadi tempat penuh kekhidmatan dan haru. Para abdi dalem serta warga berdatangan memberikan penghormatan terakhir, dipenuhi kesedihan yang tak mudah dibendung. Bahkan, kehadiran pejabat tinggi pun turut menunjukkan betapa pentingnya posisi beliau dalam kehidupan budaya dan sosial di Solo.
Warisan Budaya dan Peran Sosial
Menjembatani dua dunia: adat dan modernitas
Di masa pemerintahannya, Paku Buwono XIII berupaya menjaga relevansi keraton di era sekarang—menghargai akar tradisi sekaligus memberi ruang untuk kontribusi sosial yang lebih besar bagi masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa keraton tidak hanya monumen tapi juga entitas yang hidup.
Kesederhanaan sebagai kebajikan
Salah satu ciri khas kepemimpinan beliau adalah kesederhanaan. Dalam gaya hidup dan kepemimpinannya, beliau menekankan bahwa kesederhanaan bukanlah kekurangan, melainkan kekuatan dalam menjaga hubungan antar-manusia dan antar-kelas sosial di lingkungan keraton dan di luar. Hal ini turut menjadi simpul kehilangan bagi banyak pihak.
Rangka Pemakaman & Penerus Takhta
Jadwal pemakaman dan prosesi adat
Pihak keraton telah menetapkan bahwa pemakaman akan digelar pada Rabu, 5 November 2025, bertempat di kompleks pemakaman raja-raja Mataram di Imogiri, Kabupaten Bantul, Yogyakarta. Sebelumnya akan ada prosesi adat dan pengantaran jenazah melalui kereta pusaka dengan rute yang telah ditentukan.
Pewarisan tahta dan kesinambungan tradisi
Kepergian Paku Buwono XIII juga menandai titik transisi bagi pemerintahan keraton. Sebelumnya, beliau telah menunjuk pewaris takhta yang siap meneruskan tugas. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun kehilangan muncul, struktur tradisi tetap dijaga agar kesinambungan budaya tidak terganggu.
Refleksi atas Kehilangan & Tantangan ke Depan
Kehilangan Paku Buwono XIII bukan sekadar kehilangan pribadi atau institusi—melainkan juga kehilangan seorang figur yang menjadi perekat antara warisan budaya dan realitas masyarakat modern di Solo dan sekitarnya. Tantangan ke depan akan berpusat pada bagaimana keraton, dalam tradisi dan institusinya, dapat terus relevan dan hidup di tengah dinamika sosial yang semakin cepat berubah.
Dalam konteks ini, pertanyaan besar yang muncul adalah: apakah kesederhanaan dan harmoni yang dijunjung beliau akan bisa dipertahankan oleh generasi penerus? Apakah masyarakat, pihak keraton, dan pemerintah daerah akan bekerja bersama menjaga nilai-nilai luhur tersebut? Kini, tinggal keputusan kolektif yang akan menentukan bagaimana warisan beliau akan mekar di masa mendatang.
Kepergian Paku Buwono XIII menutup satu bab penting dalam sejarah keraton dan masyarakat budaya Jawa. Namun, warisan akan tetap hidup dan bergema—terpola dalam setiap upacara adat, setiap kebijakan pelestarian budaya, dan setiap langkah masyarakat yang masih menjaga kesederhanaan dan harmoni. Di atas makam di Imogiri, dan di hati warga Surakarta, satu pertanyaan akan terus terngiang bagaimana kita akan menjaga api warisan itu tetap menyala untuk generasi-berikutnya (selsy).



