Mengapa sekarang jadi momentum penting
Menjelang perayaan Hari Cinta Puspa dan Satwa Nasional, perhatian tertuju pada upaya pemulihan kawasan yang disebut sebagai “rumah terakhir” bagi gajah sumatera di Provinsi Bengkulu. Koridor alami yang menjadi jalur jelajah satwa ikonik ini menempati wilayah yang rawan terhadap pembukaan lahan dan aktivitas manusia lainnya. Dengan kata kunci “habitat gajah Seblat”, penting untuk menggali lebih dalam rencana pemulihan yang telah dan akan dijalankan.
Kondisi terkini tantangan di Bentang Alam Seblat
Kerusakan habitat makin masif
Kawasan Bentang Alam Seblat, yang mencakup wilayah hutan produksi, hutan terbatas dan taman nasional di Bengkulu, telah kehilangan lahan hutan alam seluas sekitar 1.585 hektare dalam dua tahun terakhir akibat perambahan dan alih fungsi lahan. Aktivitas ini terjadi meski kawasan tersebut telah ditetapkan sebagai koridor penting gajah.
Laporan lain menunjukkan bahwa total kerusakan bisa mencapai sekitar 2.000 hektare dalam kurun waktu dua tahun, menandai tekanan serius terhadap keberlanjutan ekosistem kawasan ini.
Populasi gajah yang terus menyusut
Populasi Gajah Sumatera di kawasan Seblat diperkirakan tinggal tak lebih dari 50 individu berdasarkan aktivis konservasi. Menurut studi, jumlah ini jauh menurun dibandingkan dekade sebelumnya karena hilangnya habitat, konflik manusia-satwa, dan kurangnya rangka pengamanan yang efektif.
Peran koridor sebagai jalur jelajah
Seblat bukan hanya berfungsi sebagai habitat lokal; kawasan ini juga merupakan jalur migrasi alami bagi gajah, yang bergerak melintasi berbagai fungsi hutan (produksi, terbatas, konservasi). Dengan menyempitnya koridor ini, konflik dengan manusia dan tekanan ekosistem pun meningkat.
Rencana pemulihan dan tindakan pemerintah
Komitmen penegakan hukum
Pemerintah melalui Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup Republik Indonesia (Kemenhut) telah menegaskan komitmennya untuk menjaga koridor ini. Penerbangan udara dilakukan untuk memantau langsung titik perambahan dan jalur akses ilegal di kawasan Bentang Alam Seblat.
Sejak Januari 2025, tercatat telah dilaksanakan 44 operasi pengamanan hutan dari perambahan dan 21 di antaranya telah masuk ke tahap P21 (kasus siap disidangkan).
Operasi lapangan juga melibatkan 18 personel gabungan yang menjalankan penertiban di titik‐titik kritis.
Pemulihan ekosistem yang dirancang
Tidak sekadar penegakan, program pemulihan ekosistem juga tengah disiapkan. Rencana meliputi:
Penanaman kembali vegetasi alami, termasuk tanaman pakan gajah di sepanjang koridor.
Penanaman “barrier” tanaman yang tidak disukai gajah (misalnya eucalyptus) di zona perbatasan dengan permukiman agar konflik manusia-satwa bisa ditekan.
Kolaborasi antara pemerintah daerah, perusahaan yang legal beroperasi di sekitar kawasan, lembaga konservasi dan masyarakat lokal.
Penertiban konsesi yang terindikasi menimbulkan kerusakan habitat, termasuk evaluasi izin perusahaan.
Strategi untuk Hari Cinta Puspa dan Satwa Nasional
Dalam rangka perayaan Hari Cinta Puspa dan Satwa Nasional, upaya-upaya ini memperoleh momentum tambahan: kampanye kesadaran publik, edukasi lingkungan, serta penekanan bahwa perlindungan satwa bukan hanya tugas pemerintah tetapi juga masyarakat luas.
Mengapa perlindungan gajah membahas lebih dari sekadar satwa
Fungsi ekologis yang strategis
Kawasan Seblat tidak hanya sebagai rumah bagi gajah sumatera, tetapi juga bagi berbagai satwa langka lainnya, seperti harimau sumatera. Kehilangan habitat di sini akan menimbulkan efek berantai terhadap keanekaragaman hayati dan layanan ekosistem seperti pengatur aliran air, penyangga iklim, serta penyaring udara.
Dampak sosial-ekonomi bagi masyarakat
Saat habitat gajah menyusut, konflik manusia–satwa meningkat: gajah keluar ke lahan kebun, merusak tanaman penduduk, dan memicu ketidaknyamanan maupun kerugian. Pemulihan koridor berarti juga memperkuat ketahanan masyarakat lokal dalam menghadapi tekanan lingkungan.
Tanda kondisi pengawasan yang longgar
Tingkat kerusakan yang terus berlangsung di Bentang Alam Seblat menunjukkan bahwa fungsi pengawasan, penegakan hukum, dan tata kelola lingkungan masih belum optimal. Karena itu, langkah pemulihan harus menyasar aspek struktural—bukan hanya teknis lapangan.
Tantangan yang masih menghadang
Banyak konsesi hutan produksi dan terbatas masih berada di dalam atau berdekatan dengan koridor penting gajah, yang memunculkan potensi konflik kepentingan.
Fragmentasi habitat: koridor gajah sering melewati berbagai fungsi lahan yang berbeda statusnya, sehingga pengelolaan terintegrasi menjadi rumit.
Monitoring populasi gajah yang masih sulit, karena data yang tersedia bersifat estimasi dan pemantauan satwa liar di area luas tetap menantang secara logistik dan anggaran.
Keterlibatan masyarakat lokal dan pembentukan alternatif ekonomi yang ramah lingkungan perlu terus dikembangkan agar program pemulihan terbawa dalam keseharian masyarakat
Perayaan Hari Cinta Puspa dan Satwa Nasional menjadi momen yang tepat untuk menegaskan bahwa perlindungan terhadap satwa seperti gajah sumatera bukan sekadar simbolik — melainkan aksi nyata yang bermula dari pemulihan habitat dan koridor migrasi mereka. Kawasan Bentang Alam Seblat menjadi ujung tombak bagi kelangsungan satwa tersebut di Provinsi Bengkulu. Jika koridor itu aman, maka keberadaan gajah bisa lebih terjamin — dan begitu pula ekosistem serta masyarakat yang bergantung padanya. Tantangan memang besar, namun dengan pendekatan terpadu antara penegakan hukum, kerja lapangan, pemulihan ekosistem, dan partisipasi masyarakat, upaya menyelamatkan “rumah terakhir” gajah di Seblat punya peluang nyata untuk berhasil. (selsy).
















