Turbulensi Media Digital: Jurnalisme Era Kini Dituntut Lebih Profesional dan Beretika

Foto ini menampilkan Budi, Ketua PWI Banyuwangi, dalam diskusi yang mengulas tantangan profesionalisme dan etika di era digital, sebagai bagian dari upaya meningkatkan integritas pemberitaan. (Foto: Istimewa)

Banyuwangi – Era digitalisasi telah membawa angin perubahan yang signifikan bagi dunia jurnalisme, menyuguhkan kemudahan akses informasi sekaligus tantangan baru dalam hal profesionalisme dan etika. Di tengah kecepatan penyebaran berita, muncul kekhawatiran bahwa banyak jurnalis belum sepenuhnya memahami fungsi dan peran pers secara mendalam, sehingga potensi turbulensi di ranah media pun kian terasa.

Hal tersebut diungkapkan oleh Budi, Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Banyuwangi, dalam sebuah diskusi media baru-baru ini. Budi, yang telah berkiprah sejak era media massa koran hingga transformasi digital online, menilai bahwa terdapat perbedaan mendasar antara kedua era tersebut.

“Dulu, saat saya masih menjadi jurnalis, sembilan bulan pertama saya hanya disuruh membaca koran sebagai bentuk pembelajaran. Kini, dengan kemudahan akses melalui media digital, siapa saja bisa menjadi wartawan. Namun, kemudahan ini bukan berarti kita bebas tanpa batas,” ujarnya.

Budi juga menyoroti fenomena “kritik asal” yang sering muncul di ranah media digital. Ia memberikan contoh kasus pemberitaan mengenai infrastruktur rusak, yang menurutnya seharusnya ditulis dengan kehati-hatian. “Kita boleh menulis tentang jalan rusak, tetapi tidak berhak mengasumsikan secara sepihak bahwa volume atau kualitas aspal salah. Opini yang masuk ke ranah hukum harus dihindari,” tegasnya.

Lebih jauh, Budi menekankan pentingnya jurnalisme investigasi yang mendalam. Menurutnya, alih-alih sekadar mengkritisi, jurnalis hendaknya menelusuri lebih jauh mengenai aspek teknis sebuah proyek, seperti tahun pelaksanaan, pihak yang bertanggung jawab, serta faktor penyebab kerusakan.

Dalam diskusinya, Budi mengajak seluruh rekan jurnalis untuk selalu mengedepankan kode etik jurnalistik sebagai pondasi utama. “Kita harus terus meningkatkan keilmuan dan integritas agar tidak terjebak dalam penyebaran hoaks. Jika kita terlarut dalam informasi palsu, apa artinya keberadaan media yang profesional?” ujarnya.

Budi juga mengakui bahwa meskipun semakin banyak organisasi media bermunculan, hal tersebut menunjukkan adanya peningkatan literasi masyarakat. Namun, ia mengingatkan agar semua pihak tidak melupakan niat awal dalam mendirikan media, yakni sebagai sarana pemberitaan yang akurat dan bertanggung jawab.

“Menjadi wartawan bukanlah pekerjaan yang mudah. Diperlukan dedikasi, integritas, dan pemahaman mendalam mengenai kode etik jurnalistik. Hanya dengan begitu, media dapat berperan aktif mencerdaskan masyarakat dan memberikan kontribusi positif bagi pembangunan bangsa,” pungkasnya.

Pernyataan Budi ini menjadi pengingat penting bagi seluruh pelaku media di era digital untuk senantiasa menjaga profesionalisme dan etika dalam setiap pemberitaan, guna memastikan bahwa peran pers tetap menjadi kekuatan dalam menyebarkan informasi yang akurat dan bermanfaat.

google-berita-mediakampung
saluran-whatsapp-mediakampung
Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Media Kampung. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *