Langkah hukum terbaru pemerintah kembali memicu perhatian publik setelah Presiden Prabowo Subianto menerbitkan keputusan yang memberikan rehabilitasi kepada tiga mantan direksi PT ASDP Indonesia Ferry. Mereka sebelumnya menjadi terpidana dalam kasus dugaan korupsi terkait kerja sama usaha dan proses akuisisi perusahaan. Ketiga nama tersebut adalah mantan Direktur Utama ASDP Ira Puspa Dewi, mantan Direktur Komersial dan Pelayanan Yusuf Hadi, serta mantan Direktur Perencanaan dan Pengembangan Harry Muhammad Adhi Caksono.

Kebijakan ini mencuri perhatian bukan semata karena polemik seputar perkara yang pernah mencuat, melainkan karena dinilai menyentuh persoalan lebih mendasar: bagaimana negara menjamin keadilan substantif bagi pejabat publik di tengah kompleksitas pengambilan keputusan bisnis di tubuh BUMN. Rehabilitasi tersebut dianggap sebagai langkah korektif yang menunjukkan kepekaan terhadap situasi ketika proses penegakan hukum berisiko bergeser dari evaluasi manajerial menjadi kriminalisasi berlebihan.

Dalam beberapa tahun terakhir, isu potensi kriminalisasi terhadap pejabat publik yang mengambil keputusan bisnis di BUMN memang semakin sering menjadi perbincangan. Kompleksitas operasional, kebutuhan inovasi, dan tekanan berbagai kepentingan kerap menempatkan para direksi dalam posisi rentan. Setiap keputusan strategis yang dilakukan dalam iktikad baik tetap berpotensi dipersoalkan secara pidana apabila konteks pengambilan keputusan itu diabaikan.

Kondisi tersebut menimbulkan kekhawatiran tentang efek jera berkepanjangan yang dapat menghambat dinamika BUMN. Alih-alih berani membuat terobosan yang dibutuhkan untuk transformasi ekonomi nasional, direksi bisa terjebak pada sikap defensif dan lebih memilih jalur aman secara prosedural. Situasi ini bukan hanya menghambat inovasi, tetapi juga memperlambat gerak BUMN sebagai motor pembangunan.

Rehabilitasi yang diberikan Presiden Prabowo dipandang sebagai sinyal bahwa negara perlu memberikan perlindungan bagi pejabat yang bertindak dalam batas kewajaran dan iktikad baik. Keadilan substantif, dalam konteks ini, menjadi unsur penting agar pejabat publik tidak bekerja dalam bayang-bayang ancaman kriminalisasi. Keputusan ini memunculkan harapan bahwa evaluasi terhadap keputusan bisnis akan tetap mempertimbangkan kompleksitas, konteks, dan tujuan yang melatarbelakangi kebijakan tersebut, sehingga ekosistem kerja di BUMN dapat kembali bergerak secara optimal dan progresif. (putri).

saluran-whatsapp-mediakampung