Komersialisasi Wisuda pada Tingkat Pendidikan

Banyuwangi, mediakampung.com – Seorang teman saya yang mengajar di sebuah sekolah swasta memiliki cerita menarik. Ia baru-baru ini menerima kunjungan seorang wali murid yang memohon penangguhan pembayaran sisa biaya wisuda anaknya. Orang tua anak tersebut adalah seorang pedagang kecil dengan penghasilan yang tidak menentu, sehingga kesulitan untuk memenuhi pembayaran tersebut. Teman saya merasa bingung menghadapi situasi ini karena ia sendiri tidak memiliki dana untuk membantu. Waktu pelaksanaan wisuda semakin dekat, dan jika pembayaran tidak dilunasi, anak tersebut tidak akan diizinkan mengikuti prosesi wisuda.

Biaya wisuda memang cukup tinggi, mencapai lebih dari satu juta rupiah. Hal ini dikarenakan tempat penyelenggaraan wisuda yang diadakan di sebuah hotel. Bagi pedagang kecil, jumlah tersebut tentu memberatkan keuangan.

Teman saya sendiri juga terkena dampak dari situasi ini. Ia diwajibkan mengenakan stelan jas hitam lengkap dengan dasi saat menghadiri prosesi wisuda. Namun, ia tidak memiliki stelan jas, hanya kemeja batik yang dimilikinya. Membeli atau menyewa stelan jas dengan harga yang tidak terjangkau merupakan pilihan yang sulit baginya. Apalagi, jas tersebut hanya akan dipakai sekali saja, tidak untuk digunakan sehari-hari.

Faktanya, persiapan untuk wisuda sangatlah berat, terutama dari segi biaya. Namun, mengapa siswa sekolah juga harus melaksanakan prosesi wisuda? Bukankah wisuda seharusnya hanya diperuntukkan bagi mahasiswa yang telah menyelesaikan kuliah?

Ketika saya sendiri bersekolah dulu, momen wisuda dirasakan ketika lulus kuliah. Momen tersebut terasa sangat sakral, karena setelah melalui pendidikan dari PAUD, TK, SD, SMP, SMA, akhirnya kita menyelesaikan pendidikan formal untuk siap memasuki dunia kerja.

Namun, akhir-akhir ini, fenomena baru muncul dimana anak-anak sekolah dari PAUD, TK, SD, SMP, SMA juga melaksanakan prosesi wisuda. Teman saya, yang saat ini memiliki dua anak yang masih bersekolah, awalnya merasa bingung mengapa hal ini dilakukan, dan semakin lama ia merasa bahwa seremoni ini tidak memiliki manfaat yang jelas. Saya tidak melihat adanya sisi positif dari prosesi wisuda pada tingkat PAUD-TK-SD-SMP-SMA.

Bayangkan jika anak-anak menjalani wisuda sejak kecil, nanti saat mereka kuliah, mereka mungkin akan menganggapnya sebagai seremoni yang biasa saja tanpa ada keistimewaan. Masalah selanjutnya adalah biaya wisuda yang tidak sedikit. Sekolah yang tidak memiliki aula besar terpaksa harus menyewa gedung pertemuan dengan kapasitas lebih dari seribu undangan dengan biaya sewa yang tinggi. Belum lagi konsumsi dan perlengkapan lainnya yang harus disiapkan, semuanya memerlukan biaya. Saya merasa bahwa ini hanya untuk kepentingan pihak-pihak tertentu yang ingin mencari penghasilan dari acara wisuda ini.

Saya berharap di masa depan kita semua semakin menyadari bahwa upacara seremonial seperti ini perlu dipertimbangkan ulang, baik dari segi seremoni itu sendiri maupun biaya yang harus dikeluarkan. Masih banyak kebutuhan yang jauh lebih penting seperti mencari sekolah baru, mempersiapkan seragam dan buku baru yang seharusnya menjadi fokus utama. Kembali kepada tradisi yang sederhana, cukup dengan perpisahan yang sederhana dan penyerahan ijazah, sudah cukup tanpa perlu mengadakan seremoni yang berlebihan dan hanya menghabiskan waktu dan biaya.

Prosesi wisuda seharusnya menjadi momen yang istimewa dan berharga, tetapi dengan komersialisasi dan kelebihan biaya yang terjadi saat ini, nilai-nilai penting dari wisuda mulai pudar. Sebagai pendidikan, seharusnya kita fokus pada kesempatan belajar dan prestasi akademik yang sebenarnya, bukan hanya pada upacara seremonial yang menghabiskan sumber daya.

Saya berharap bahwa kedepannya kita dapat mengambil langkah untuk mengembalikan makna sejati dari wisuda, yaitu sebagai penghargaan terhadap pencapaian pendidikan yang telah dicapai. Kita perlu mengutamakan kualitas pendidikan dan memberikan kesempatan bagi semua siswa untuk merayakan prestasi mereka tanpa harus terbebani oleh biaya yang terlalu tinggi.

google-berita-mediakampung
saluran-whatsapp-mediakampung
Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Media Kampung. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *