Kepemimpinan Modern Tak Cukup Cerdas Secara Geopolitik
Menteri Agama Nasaruddin Umar menegaskan bahwa kepemimpinan di masa depan tidak hanya ditentukan oleh kecerdasan geopolitik, tetapi juga oleh kemampuan memahami nilai-nilai spiritual lintas agama.
Pesan tersebut ia sampaikan dalam kuliah umum Pendidikan Pemantapan Pimpinan Nasional (P3N) Angkatan XXVI di Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia (Lemhannas RI), Jakarta, Jumat (31/10/2025).
Acara ini turut dihadiri oleh Gubernur Lemhannas Ace Hasan Syadzily, Wakil Gubernur Lemhannas Edwin, dan sejumlah pejabat strategis lainnya.
Menurut Menag, dunia saat ini tengah menghadapi tantangan yang semakin kompleks — mulai dari konflik geopolitik, krisis kemanusiaan, hingga degradasi lingkungan. Untuk menjawab semua itu, seorang pemimpin perlu memiliki kesadaran spiritual dan kepekaan sosial yang tinggi.
“Ketahanan nasional tidak cukup dengan militer yang kuat. Ia juga harus ditopang oleh kesadaran spiritual, empati kemanusiaan, dan keseimbangan ekologi,” ujar Menag Nasaruddin.
Diplomasi Spiritual, Pilar Baru Kepemimpinan Global
Dalam paparannya, Nasaruddin menjelaskan konsep diplomasi spiritual, yakni pendekatan kepemimpinan yang mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan, kebijaksanaan moral, dan toleransi lintas keyakinan.
Menurutnya, pendekatan ini menjadi semakin relevan di tengah dunia yang penuh ketegangan dan perpecahan. Pemimpin yang mampu menjalin diplomasi spiritual dapat berperan sebagai jembatan perdamaian, bukan hanya di level nasional, tetapi juga global.
Ia mencontohkan beberapa negara yang mulai mengadopsi pendekatan berbasis nilai spiritual dalam kebijakan luar negerinya. “Kepemimpinan spiritual tidak berarti religius semata. Ia berbicara tentang kesadaran manusia terhadap nilai kehidupan, cinta damai, dan tanggung jawab sosial,” jelasnya.
Ketahanan Nasional Butuh Fondasi Moral
Nasaruddin menilai, pembangunan ketahanan nasional tidak dapat berdiri di atas kekuatan militer dan ekonomi semata. Aspek moral dan spiritual harus menjadi fondasi utama.
“Kekuatan bangsa bukan hanya diukur dari jumlah pasukan atau anggaran pertahanan. Namun dari seberapa kuat nilai kemanusiaan dan spiritual dipegang oleh pemimpinnya,” tegasnya.
Ia menambahkan bahwa krisis global yang sering terjadi, seperti konflik antarnegara atau polarisasi sosial, kerap berakar dari hilangnya nilai moral dalam proses pengambilan keputusan. Oleh karena itu, pendidikan kepemimpinan perlu menyentuh dimensi spiritual, agar lahir pemimpin yang berkarakter, beretika, dan berempati.
Peran Lemhannas dalam Membangun Pemimpin Visioner
Dalam kesempatan itu, Menteri Agama juga memberikan apresiasi kepada Lemhannas RI yang terus melahirkan calon-calon pemimpin nasional melalui program P3N. Menurutnya, Lemhannas memiliki peran strategis dalam membentuk pemimpin dengan wawasan kebangsaan, kecerdasan global, dan spiritualitas kebangsaan.
Ia berharap kurikulum di Lemhannas dapat semakin menekankan keseimbangan antara intelegensi strategis dan kearifan spiritual, agar peserta didik tidak hanya tangguh secara intelektual, tetapi juga memiliki kedalaman moral.
“Pemimpin sejati adalah mereka yang mampu menjaga keseimbangan antara kecerdasan akal, kekuatan moral, dan kebijaksanaan spiritual,” ujarnya.
Kepemimpinan Spiritual di Tengah Krisis Global
Dalam konteks global, diplomasi spiritual kini semakin dibutuhkan. Dunia menghadapi tantangan lintas batas yang tidak bisa diselesaikan dengan kekuatan politik semata — seperti perubahan iklim, krisis pengungsi, hingga intoleransi antaragama.
Pemimpin dengan kesadaran spiritual mampu menjadi penghubung antarperbedaan dan pembawa solusi berbasis nilai-nilai kemanusiaan universal.
Menag juga menekankan pentingnya Indonesia sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia untuk menjadi contoh nyata kepemimpinan spiritual yang moderat.
“Indonesia punya modal sosial besar melalui tradisi toleransi dan gotong royong. Ini harus kita tunjukkan kepada dunia sebagai bentuk diplomasi spiritual bangsa,” katanya.
Empati Kemanusiaan Sebagai Ukuran Kepemimpinan
Nasaruddin menegaskan bahwa ukuran keberhasilan seorang pemimpin tidak hanya dilihat dari prestasi politik atau ekonomi, tetapi juga dari sejauh mana ia mampu menghadirkan kedamaian dan keadilan sosial bagi rakyatnya.
Ia menyebut empati sebagai elemen penting dalam diplomasi spiritual. Dengan empati, seorang pemimpin mampu memahami penderitaan masyarakat dan menciptakan kebijakan yang lebih manusiawi.
“Pemimpin yang kehilangan empati akan kehilangan arah. Sebaliknya, pemimpin yang berempati akan menemukan makna dari kekuasaannya,” tambahnya.
Pemimpin Visioner Harus Memahami Spiritualitas Zaman
Menutup kuliahnya, Menag Nasaruddin mengajak para peserta P3N Lemhannas untuk menjadi pemimpin visioner yang berakar pada nilai-nilai spiritual bangsa.
Ia menegaskan bahwa ke depan, kepemimpinan nasional tidak cukup hanya didukung strategi dan teknologi, tetapi harus dibimbing oleh nurani dan kebijaksanaan spiritual.
“Bangsa yang besar adalah bangsa yang dipimpin oleh orang-orang yang mampu memadukan kekuatan pikir, hati, dan jiwa,” tutupnya.
Kata kunci utama: kepemimpinan spiritual
Kata kunci turunan: diplomasi spiritual, Menag Nasaruddin Umar, Lemhannas, ketahanan nasional, empati kemanusiaan


