Sengketa Tanah Bantaran Sungai Stail Banyuwangi, Pertanyaan tentang Sertifikat dan Kewenangan

Sengketa Tanah Bantaran Sungai Stail Banyuwangi

Media Kampung– Tiga lembaga berwenang, yakni jaringan pengawas kebijakan pemerintah yang digawangi (Maskur), lembaga peduli lingkungan hidup Tapalkuda Nusantara (Rofiq Azmi), dan BCW Banyuwangi Corruption Watch (Masruri), kini tengah menggugah perhatian publik dengan pertanyaan mengenai riwayat penerbitan sertifikat hak milik (SHM) atas lahan di sekitar Sungai Stail.P.K Banyuwangi. Fokus mereka tertuju pada sengketa lahan yang terletak di sekitar JL Jember, Desa Genteng Kulon, Kecamatan Genteng, Kabupaten Banyuwangi, yang telah meruncing selama beberapa waktu.

Informasi berharga dari salah satu warga setempat, Pak J, telah mengungkapkan bahwa lahan yang kini menjadi pusat sengketa, semula merupakan jurang sungai yang digunakan sebagai tempat pembuangan sampah. Seiring berjalannya waktu, masyarakat Genteng merubahnya menjadi tempat berdagang sepeda (PDSM Genteng). Namun, lahan ini justru mengalami serangkaian pergantian klaim kepemilikan, bahkan beberapa di antaranya diklaim oleh individu yang kini telah meninggal dunia. Klaim-klaim ini tentu didasarkan pada kepemilikan sertifikat hak milik yang mereka klaim.

Tak ketinggalan, aktivis anti korupsi BCW Banyuwangi juga menyuarakan keraguan terkait status tanah pengairan ini dan peran Kuasa Pengguna Barang (dinas) dalam kasus ini. Pertanyaan yang diajukan adalah apakah tanah pengairan dapat sah dimiliki dengan sertifikat, serta kritik atas kelamnya peran Kuasa Pengguna Barang dalam menghadapi isu ini.

Namun, Rofiq tak membiarkan perdebatan ini melewatkan pandangannya. Ia menegaskan bahwa meskipun lahan tersebut telah bersertifikat, persoalan pokok adalah siapa yang memiliki kewenangan menjual tanah pengairan dan apakah tanah bantaran sungai dapat sebetulnya dimiliki serta dijual. Kehadiran Kuasa Pengguna Barang dalam konteks ini dinilai krusial, dan Rofiq menyarankan bahwa mungkin saatnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ikut terlibat untuk mengkaji permasalahan ini lebih lanjut.

Dalam konteks hukum dan regulasi, dijelaskan tegas bahwa wilayah sungai, termasuk tanah bantaran sungai, tidak dapat dimiliki atau dikuasai oleh individu, kelompok masyarakat, maupun badan usaha. Dasar hukum yang mengatur hal ini tercantum dalam Undang-Undang Sumber Daya Air (UU SDA) dan Peraturan Menteri PUPR 28/2015. Larangan ini bertujuan untuk menjaga kelestarian sungai dan memastikan bahwa pemanfaatannya tetap menguntungkan bagi seluruh masyarakat.

google-berita-mediakampung
saluran-whatsapp-mediakampung
Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Media Kampung. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *