BMKG: Kemarau Basah Bisa Terulang di 2026, Ini Penyebabnya
Fenomena cuaca yang tak biasa, dikenal sebagai kemarau basah, diperkirakan berpotensi kembali terjadi pada musim kemarau tahun 2026 mendatang. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengungkapkan bahwa kondisi ini bisa muncul kembali jika pola transisi antara musim hujan ke musim kemarau tidak berjalan dengan jelas.
Menurut BMKG, ketidakjelasan peralihan musim dan faktor iklim global seperti Indian Ocean Dipole (IOD) negatif menjadi dua elemen utama yang dapat memicu fenomena ini. Jika kedua faktor tersebut terjadi bersamaan, besar kemungkinan pola hujan tetap muncul meskipun kalender menunjukkan musim kemarau.
Kemarau basah adalah kondisi cuaca saat intensitas hujan tetap tinggi atau di atas normal meskipun seharusnya wilayah Indonesia mengalami musim kemarau. Dalam kondisi normal, kemarau ditandai dengan curah hujan rendah atau bahkan nihil selama beberapa bulan. Namun dalam kemarau basah, hujan masih turun dengan frekuensi dan volume yang cukup signifikan.
Fenomena ini dapat mengacaukan sektor-sektor yang bergantung pada musim, seperti pertanian dan infrastruktur. Misalnya, jadwal tanam dan panen bisa terganggu akibat tanah yang tetap basah, atau pembangunan fisik yang molor akibat curah hujan di luar perkiraan.
Indian Ocean Dipole (IOD) adalah fenomena laut yang menggambarkan perbedaan suhu permukaan laut antara bagian barat dan timur Samudra Hindia. Ketika IOD dalam kondisi negatif, suhu laut di bagian timur (sekitar Indonesia) menjadi lebih hangat dari biasanya. Hal ini memicu penguapan tinggi yang kemudian menyebabkan peningkatan curah hujan di wilayah Indonesia.
Menurut Deputi Bidang Meteorologi BMKG, IOD negatif merupakan salah satu penyumbang utama munculnya kemarau basah seperti yang terjadi pada 2025, dan berpotensi kembali hadir di tahun 2026 jika pola iklim tidak berubah signifikan.
Perubahan iklim global telah membuat batas antara musim hujan dan musim kemarau menjadi semakin kabur. Dalam situasi normal, Indonesia mengalami peralihan musim sekitar Maret–April (menuju kemarau) dan Oktober–November (menuju hujan). Namun, dalam beberapa tahun terakhir, pergeseran ini tidak berlangsung sebagaimana mestinya.
BMKG mencatat bahwa transisi musim yang tidak tegas menyebabkan anomali iklim, salah satunya adalah kemarau basah. Jika hujan terus turun selama musim kemarau, maka sektor pertanian dan logistik akan terkena dampaknya secara langsung.
Bagi petani, kemarau basah bisa menjadi tantangan tersendiri. Pada musim kemarau, sebagian besar petani biasanya mulai menyiapkan masa tanam kedua atau ketiga karena diasumsikan curah hujan rendah dan irigasi bisa dikendalikan. Namun, jika kemarau justru membawa hujan, maka perencanaan mereka menjadi berantakan.
Terlalu banyak air dapat menyebabkan gagal tanam atau gagal panen karena akar tanaman membusuk. Di sisi lain, hama dan penyakit tanaman lebih cepat menyebar dalam kondisi lembap.
Infrastruktur dan Kesehatan
Selain pertanian, pembangunan infrastruktur juga berpotensi terganggu akibat tanah yang tak kunjung kering. Pekerjaan proyek seperti jalan, jembatan, hingga irigasi menjadi lebih lama diselesaikan.
Kemarau basah juga meningkatkan risiko penyakit berbasis air seperti leptospirosis, demam berdarah, dan infeksi saluran pernapasan akibat kelembapan udara yang tinggi.
BMKG mengingatkan bahwa potensi terulangnya kemarau basah di tahun 2026 perlu diantisipasi sejak dini, khususnya oleh sektor-sektor vital. Meskipun belum dapat dipastikan 100 persen, indikator iklim seperti IOD dan pola transisi musim akan terus dipantau sepanjang akhir 2025 hingga awal 2026.
Dengan teknologi pemantauan cuaca yang semakin canggih, BMKG dapat memberikan peringatan dini lebih akurat dan cepat. Namun demikian, upaya mitigasi tetap diperlukan agar masyarakat dan sektor ekonomi tidak kembali terkejut dengan perubahan cuaca ekstrem.
Menghadapi potensi kemarau basah, koordinasi lintas sektor sangat dibutuhkan. Pemerintah daerah perlu menyusun rencana kontinjensi terkait penjadwalan pertanian, pembangunan infrastruktur, dan distribusi logistik.
BMKG sendiri telah memperkuat sistem peringatan dini serta memperluas jangkauan komunikasi cuaca kepada masyarakat. Melalui media sosial, aplikasi, dan kanal resmi lainnya, informasi cuaca kini bisa diakses real-time oleh masyarakat umum.
Masyarakat juga diimbau untuk terus memperbarui informasi prakiraan cuaca serta menyesuaikan kegiatan harian, termasuk sektor usaha kecil menengah, pertanian, dan transportasi.
Kemarau basah yang berpotensi terulang pada tahun 2026 adalah pengingat nyata bahwa perubahan iklim membawa tantangan baru bagi Indonesia. Ketika musim kemarau tidak lagi berarti langit cerah dan hari-hari tanpa hujan, maka adaptasi menjadi kunci utama.
Diperlukan sinergi antara pemerintah, ilmuwan, dan masyarakat untuk menghadapi ketidakpastian ini. Bukan hanya untuk menjaga ketahanan ekonomi, tetapi juga demi keberlanjutan hidup di tengah perubahan iklim yang semakin nyata. (putri)



