Harapan ribuan warga di dua kabupaten di Bali barat untuk memperoleh kepastian atas tanah mereka kembali pupus. Proyek Tol Gilimanuk–Mengwi, yang awalnya digadang-gadang menjadi jalur strategis penghubung Bali dan Jawa, kini justru memasuki fase paling rumit. Minimnya minat investor praktis membuat pembangunan jalan tol tersebut stagnan, sementara dampak sosial yang ditimbulkan terus membayangi warga hingga tahun keempat.

Sejak penetapan lokasi (penlok) dilakukan, lahan-lahan warga di Kabupaten Jembrana dan Tabanan otomatis masuk ke dalam “zona beku”. Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) menetapkan area tersebut sebagai calon trase tol. Status ini membuat pemilik lahan kehilangan sejumlah hak dasar atas aset mereka.

Di Jembrana, ada 33 desa terdampak dengan total 4.305 bidang lahan. Jumlahnya lebih besar di Tabanan, yang mencatat 64 desa terdampak dengan luas mencapai 212,9 hektare. Warga tidak bisa menjual, mengalihkan, atau menjaminkan tanah mereka ke bank. Banyak keluarga terhambat mengakses modal usaha, biaya pendidikan anak, hingga kebutuhan kesehatan karena aset yang sebelumnya bernilai kini tak bisa berfungsi.

“Sudah empat tahun begini. Sertifikat tetap atas nama kami, tapi tidak ada nilainya. Bahkan renovasi atap bocor pun kami tahan,” ungkap seorang warga Desa Pekutatan yang enggan disebut namanya, dikutip Radar Bali.

Ketidakpastian paling terasa dialami warga yang rumahnya berdiri tepat di atas calon jalur tol. Meski atap rapuh, dinding retak, atau lantai mulai rusak, sebagian besar memilih tidak melakukan perbaikan. Mereka khawatir jika renovasi dilakukan sementara pembebasan lahan tiba-tiba berjalan, biaya yang sudah dikeluarkan tidak akan diganti.

Hingga kini, masyarakat masih menunggu kepastian kapan proses pembebasan lahan dimulai, atau apakah proyek akan dilanjutkan sesuai rencana awal. Sementara itu, “pembekuan” lahan terus mengunci ruang gerak warga tanpa kejelasan dari pemerintah maupun pengembang.(selsy)