Anggota Komisi III DPR Soedeson Tandra mengingatkan kembali pentingnya fit and proper test calon Kapolri, menanggapi munculnya usulan agar kepala Polri dapat langsung dipilih Presiden tanpa persetujuan parlemen. Ia menegaskan bahwa pelibatan DPR merupakan bagian dari fungsi pengawasan yang sudah melekat pada lembaga legislatif.
Tandra menyampaikan hal tersebut saat dihubungi pada Rabu (10/12/2025). Ia menjelaskan bahwa DPR harus memastikan proses pengangkatan berjalan transparan sejak awal, termasuk menilai calon yang diusulkan Presiden. Menurut dia, mekanisme ini merupakan amanat konstitusi dan tidak dapat dilewati begitu saja.
Ia menilai setiap usulan perubahan sah untuk disampaikan, namun dasar hukumnya tak boleh diabaikan. Tandra mengingatkan bahwa Undang-Undang Dasar, TAP MPR, dan regulasi turunan sudah secara jelas mengatur alur pengangkatan Kapolri, sehingga pembahasan harus berpijak pada ketentuan tersebut.
Wacana pengangkatan Kapolri tanpa mekanisme fit and proper test kembali mencuat setelah Pusat Purnawirawan (PP) Polri bertemu Komisi Percepatan Reformasi Polri pada hari yang sama. Dalam kesempatan itu, mantan Kapolri Jenderal (Purn) Da’i Bachtiar menyampaikan gagasan agar Presiden dapat menunjuk Kapolri secara langsung sebagai bentuk hak prerogatif penuh.
Da’i mempertanyakan apakah proses persetujuan DPR masih diperlukan, mengingat Presiden merupakan pihak yang memegang mandat utama untuk menentukan pimpinan Polri. Ia berpendapat bahwa pelibatan DPR bisa memengaruhi independensi Kapolri karena berpotensi menimbulkan beban moral atau balas jasa setelah proses politik berlangsung.
Ia menilai bahwa meskipun tujuan pengawasan DPR baik, mekanisme itu dikhawatirkan dapat menimbulkan tekanan bagi orang yang terpilih. Da’i menekankan perlunya kajian mengenai apakah forum politik memang tetap diperlukan dalam pengangkatan Kapolri.
Mekanisme pengangkatan Kapolri saat ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia. Pasal 11 ayat (1) secara tegas menetapkan bahwa Kapolri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan DPR. Pada ayat berikutnya, diatur bahwa usulan tersebut harus disertai alasan yang jelas.
Setelah Presiden mengajukan nama, Komisi III DPR wajib melakukan fit and proper test sebelum memberikan keputusan. DPR diberi waktu maksimal 20 hari untuk menyampaikan persetujuan atau penolakan. Bila dalam periode tersebut tidak ada keputusan, kandidat yang diajukan dianggap disetujui secara otomatis. Jika calon disepakati, nama tersebut dibawa ke rapat paripurna sebelum dikembalikan kepada Presiden untuk pelantikan.
Dengan konstruksi hukum seperti itu, Tandra menegaskan bahwa perubahan mekanisme tidak bisa dilakukan sekadar berdasarkan usulan politik, tetapi membutuhkan revisi undang-undang dan kesepakatan nasional yang lebih luas.

















Tinggalkan Balasan