Krisis rare earth Myanmar memasuki fase baru ketika Tentara Kemerdekaan Kachin (KIA) pada akhir 2024 berhasil mengambil alih sejumlah pusat penambangan di Negara Bagian Kachin, Myanmar utara. Kawasan yang telah lama menjadi lokasi ekstraksi bijih lempung ionik oleh operator terkait China dan milisi pendukung junta tersebut kini berada dalam pengawasan ketat kelompok etnis bersenjata itu.

Sejak mengambil kendali, KIA menerapkan pembatasan baru terhadap perizinan, perpajakan, serta distribusi bijih. Kebijakan ini membuat aktivitas penambangan melambat drastis dan segera berdampak pada aliran bahan baku ke China.

Gangguan ini menimbulkan kekhawatiran besar bagi Beijing. Perbukitan Kachin selama ini menjadi pemasok utama dysprosium dan terbium—dua logam tanah jarang berwarna putih keperakan yang penting untuk pembuatan magnet berkinerja tinggi di kendaraan listrik, turbin angin, hingga sistem pertahanan modern.

Memasuki awal 2025, data bea cukai China mencatat bahwa impor senyawa tanah jarang dari Myanmar anjlok tajam. Padahal sebelumnya, negara itu memasok lebih dari separuh kebutuhan bahan baku rare earth China dan menyumbang porsi terbesar nilai impor.

Penurunan pasokan serta lonjakan harga terbium dan dysprosium membuat produsen dan pedagang magnet di China semakin waspada. Banyak pihak menilai gangguan dapat berlangsung lama melihat kondisi keamanan di Myanmar yang tidak stabil.

Dalam situasi ini, langkah Perdana Menteri China Li Qiang memperkenalkan aliansi “mineral hijau” di KTT G20 Johannesburg dianggap sebagai sinyal urgensi strategis. Inisiatif bertajuk “Kerja Sama Ekonomi dan Perdagangan Internasional untuk Pertambangan dan Mineral Hijau” itu dikemas sebagai upaya mendorong praktik penambangan lebih bersih, pembagian manfaat mineral yang lebih adil, serta rantai pasok yang lebih stabil. Di sisi lain, langkah tersebut dibaca sebagai strategi China membentuk standar global baru untuk mineral kritis yang dinilai “hijau”.

Aliansi ini mencakup 19 negara, termasuk Kamboja, Nigeria, Myanmar, Zimbabwe, serta Organisasi Pengembangan Industri PBB (UNIDO). Para analis menilai Beijing berusaha memperluas pengaruh sekaligus mengamankan jalur pasok alternatif di tengah meningkatnya ketergantungan industri global pada logam strategis.

Peneliti senior Asia Society Policy Institute, Paul Triolo, menilai inisiatif tersebut menunjukkan keinginan China tampil sebagai aktor yang bertanggung jawab dalam rantai pasok dunia. Ia menilai Beijing ingin menguatkan posisi perusahaan asal China sambil memberi sinyal kepada negara-negara mitra bahwa mereka dapat menawarkan lebih banyak dibandingkan Amerika Serikat dan sekutunya.

Dalam pernyataan yang disampaikan melalui media pemerintah, Perdana Menteri Li menegaskan bahwa China akan meningkatkan perlindungan terhadap kepentingan negara-negara berkembang sekaligus memperluas kerja sama saling menguntungkan dalam pemanfaatan mineral penting untuk tujuan damai. (putri).