Perjalanan Politik yang Tidak Mulus Sejak Awal

Keputusan Pramono Anung untuk terjun ke Pemilihan Gubernur Jakarta tahun lalu sempat mengejutkan banyak pihak. Bukan hanya karena dirinya berasal dari latar belakang birokrasi pusat, tetapi juga karena peluang menangnya dinilai tipis ketika pertama kali mencalonkan diri. Sejumlah lembaga survei bahkan menempatkan elektabilitas Pramono di posisi bawah, jauh dari kandidat yang lebih populer.

Saat itu, Pramono menjabat sebagai Sekretaris Kabinet di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo—posisi strategis yang sering berada di balik layar. Namun, ketika memasuki kontestasi terbuka seperti Pilgub Jakarta, peran teknokratisnya tidak serta-merta mengonversi dirinya menjadi figur yang dikenal luas publik ibu kota. Kondisi itulah yang membuat langkah awalnya menuju gelanggang politik Jakarta dipenuhi keraguan.

Situasi Awal: Elektabilitas Rendah dan Keraguan Publik

Dua Tantangan Utama: Popularitas dan Persepsi Publik

Masalah utama yang dihadapi Pramono ketika maju sebagai calon gubernur adalah elektabilitas Pramono Anung yang rendah. Dalam berbagai survei prapilkada, namanya selalu berada di posisi buncit. Popularitasnya kalah jauh dari tokoh-tokoh yang sudah lebih lama berkecimpung di politik Jakarta, seperti mantan pejabat daerah, anggota DPR, atau figur publik yang kerap muncul di media.

Latar belakangnya sebagai birokrat senior membuat publik lebih mengenalnya sebagai pengelola administrasi pemerintahan ketimbang pemimpin daerah yang tampil di panggung publik. Akibatnya, banyak pemilih belum memiliki asosiasi yang kuat mengenai apa yang bisa ia tawarkan sebagai gubernur.

Terbatasnya Eksposur Politik

Sebagai Sekretaris Kabinet, Pramono memiliki rekam jejak panjang dalam mengawal kebijakan nasional, tetapi perannya jarang berada di depan kamera. Rendahnya tingkat paparan publik ini memperlemah peluangnya saat memasuki kompetisi yang sangat bergantung pada persepsi massa.

Survei-survei awal menunjukkan bahwa pemilih Jakarta membutuhkan sosok dengan tingkat visibilitas tinggi dan kemampuan komunikasi publik yang kuat—dua hal yang saat itu dianggap belum dimiliki Pramono.

Keputusan Maju: Dari Birokrat ke Kontestan Pilgub

Pertaruhan Politik yang Besar

Masuknya Pramono ke bursa calon gubernur dianggap sebagai salah satu keputusan paling berani dalam kariernya. Beralih dari jabatan strategis di pusat kekuasaan ke medan persaingan terbuka merupakan langkah yang membutuhkan keyakinan diri sekaligus perhitungan matang.

Tidak sedikit analis politik menilai bahwa pencalonan tersebut menunjukkan transformasi dirinya dari seorang birokrat ke figur politik dengan ambisi memimpin daerah. Namun, keberanian itu juga datang dengan risiko besar, terutama karena ia memulai langkah dari posisi yang lemah dalam survei.

Modal Birokrasi yang Tidak otomatis Menjadi Modal Politik

Pramono memang memiliki pengalaman panjang dalam pemerintahan nasional, tetapi pengalaman tersebut tidak otomatis diterjemahkan menjadi dukungan elektoral. Publik Jakarta cenderung memilih sosok yang memiliki rekam jejak nyata dalam menangani isu-isu perkotaan seperti transportasi, banjir, dan tata ruang—area yang selama ini tidak menjadi fokus Pramono dalam jabatan sebelumnya.

iklan 728 x 90 px

Perjalanan inilah yang membuat banyak pihak memandang langkah awalnya di Pilgub Jakarta sebagai perjuangan uphill battle.

Dinamika Survei: Mengapa Elektabilitasnya Tersendat?

Faktor Identitas Politik

Elektabilitas Pramono terbentur persoalan identitas politik. Ia tidak datang dari kelompok politik lokal maupun tokoh yang memiliki basis massa jelas di Jakarta. Ketika kandidat lain membawa popularitas atau identitas politik tertentu, Pramono harus membangun semuanya dari awal.

Pakar politik menilai bahwa pemilih Jakarta cukup kritis dalam menentukan pilihan dan cenderung menilai figur berdasarkan rekam jejak personal, bukan sekadar afiliasi jabatan. Karena itu, posisi Pramono sebagai pejabat pusat belum cukup untuk membangun hubungan emosional dengan pemilih.

iklan 728 x 90 px

Minimnya Narasi Awal

Di tahap awal pencalonan, narasi politik Pramono belum terbentuk kuat. Tanpa narasi yang jelas, sulit bagi seorang kandidat untuk menggerakkan opini publik. Ketika kandidat lain sudah membangun pesan kampanye soal penataan kota, transportasi publik, dan pembangunan sosial, Pramono masih dipersepsikan sebagai figur yang belum memiliki visi konkret untuk Jakarta.

Kondisi ini membuat elektabilitasnya tertahan di kisaran rendah tanpa pergerakan signifikan.

Menghadapi Kompetisi Ketat di Bursa Calon

Kontestasi dengan Tokoh-Tokoh Populer

Pemilihan Gubernur Jakarta selalu menyajikan persaingan ketat yang melibatkan tokoh-tokoh dengan popularitas tinggi. Pada saat Pramono memutuskan maju, sejumlah nama yang muncul dalam survei memiliki modal elektoral besar, entah itu karena popularitas mereka di panggung nasional atau rekam jejak di pemerintahan daerah.

iklan 728 x 90 px

Dalam situasi tersebut, Pramono harus bersaing tidak hanya dalam gagasan, tetapi juga dalam perhatian publik. Hal ini semakin menantang ketika tingkat pengenalan dirinya masih rendah.

Pertarungan Narasi dan Citra

Setiap kontestan Pilgub berusaha membangun citra tertentu—pemimpin tegas, teknokrat modern, figur muda, atau sosok berpengalaman lapangan. Pramono, dengan latar belakang birokrasi pusat, membutuhkan strategi yang tepat untuk mengkomunikasikan nilai tambahnya kepada pemilih.

Namun, dengan start dari elektabilitas rendah, tantangan yang ia hadapi jauh lebih berat dibanding kandidat lain yang sudah memiliki fondasi popularitas.

Refleksi: Jalan Panjang Menuju Panggung Politik Jakarta

Perjalanan awal Pramono Anung menuju pencalonan gubernur memperlihatkan betapa sulitnya menembus politik elektoral Ibu Kota. Elektabilitas rendah, minimnya eksposur publik, serta kerasnya kompetisi membuat langkah awalnya penuh rintangan.

Kisah ini sekaligus menyoroti dinamika politik Jakarta yang menuntut figur dengan visibilitas tinggi dan kapasitas komunikasi publik yang kuat. Bagi Pramono, keputusan untuk maju merupakan langkah berani yang membuka fase baru dalam kariernya, meski dimulai dari titik yang tidak menguntungkan.

Pada akhirnya, perjalanan politiknya menunjukkan bahwa dalam kontestasi demokratis, elektabilitas tidak hanya ditentukan oleh posisi atau jabatan, tetapi oleh kemampuan membangun kepercayaan publik, membentuk narasi kuat, dan menyesuaikan diri dengan kebutuhan pemilih kota besar seperti Jakarta.

google-berita-mediakampung
saluran-whatsapp-mediakampung