Semangat zaman hari ini adalah ketidakpastian. Stabilitas bukan lagi sesuatu yang ajeg, sementara perubahan datang silih berganti tanpa memberi jeda. Dunia terasa semakin riuh dan menyesakkan.
Hiruk pikuk media sosial, krisis iklim, kecamuk perang, gejolak ekonomi global, hingga perkembangan Artificial Intelligence (AI) yang kian pesat—semuanya membombardir kesadaran kita setiap hari. Bahkan, tak sedikit yang dihantui rasa cemas akan tergantikan oleh mesin.
Ketidakpastian itu hadir bukan sesekali, melainkan setiap jam, setiap menit, bahkan setiap detik. Kita hidup dalam mode waspada tanpa henti—24 jam sehari, tujuh hari seminggu. Dalam situasi seperti ini, menjadi tetap waras justru terasa sebagai sebuah kemewahan.
Lalu, apa yang bisa membantu kita agar tidak terjerembap dalam kekacauan mental?
Cara-cara Menjaga Kewarasan
Setiap orang memiliki caranya masing-masing untuk bertahan. Ada yang menemukan ketenangan lewat olahraga—berlari dengan sepatu mahal atau menjadi anggota pusat kebugaran. Ada pula yang memilih menjajal kuliner dan jajanan favorit sebagai pelarian dari rutinitas.
Semua cara itu sah dan sering kali efektif untuk memperbaiki suasana hati. Namun, ada pula mereka yang memilih jalan berbeda: membaca buku-buku filsafat populer untuk memaknai ulang hidup dan dunia yang kian terasa absurd.
Buku-buku tersebut tidak sekadar menawarkan teori, tetapi mengajak pembacanya berpikir dan berfilsafat, mempertanyakan ulang makna kebahagiaan, penderitaan, hingga tujuan hidup.
Filsafat Tak Lagi Angker
Belakangan, filsafat tak lagi dipandang sebagai disiplin yang menakutkan atau terlalu elitis. Sejak pandemi COVID-19 melanda pada awal 2020, filsafat justru menjadi jalan pelarian bagi banyak orang yang lelah menghadapi keterbatasan dan isolasi sosial.
Di tengah kebosanan dan keterkungkungan di rumah, filsafat hadir sebagai semacam oase. Kelas-kelas daring bermunculan, memperkenalkan kembali “ibu dari segala ilmu” ini kepada publik luas. Sebagian kelas tersebut bahkan masih bertahan hingga kini.
Tentu saja, pendekatan yang digunakan beragam. Ada yang berhasil membumikan filsafat dengan bahasa sederhana dan kontekstual. Ada pula yang masih setia dengan istilah dan gaya bahasa yang terasa berjarak bagi orang awam.
Namun, satu hal jelas: minat terhadap filsafat meningkat.
Filsafat Populer dan Pencarian Makna
Ketertarikan itu juga tercermin dari maraknya buku filsafat populer yang diterbitkan penerbit besar. Salah satu contoh yang menonjol adalah Filosofi Teras karya Henry Manampiring, yang mengulas aliran Stoikisme dengan pendekatan personal dan relevan dengan kehidupan modern.
Berangkat dari pengalaman depresi penulisnya, buku tersebut berhasil menjangkau pembaca luas. Filsafat tak lagi hadir sebagai wacana abstrak, melainkan sebagai alat bantu untuk bertahan dan bangkit.
Dalam konteks ini, filsafat menjelma menjadi semacam tali pengait—membantu banyak orang menemukan pijakan di tengah dunia yang goyah. (putri).

















Tinggalkan Balasan