Florian Wirtz di Liverpool: Awal Sulit, Tapi Bukan Akhir Cerita

Kehadiran Florian Wirtz di Liverpool pada bursa transfer musim panas 2025 sempat menyalakan harapan besar di kalangan penggemar The Reds. Didatangkan dari Bayer Leverkusen dengan biaya transfer fantastis mencapai 100 juta paun, gelandang muda asal Jerman itu diproyeksikan menjadi motor baru di lini tengah Liverpool.

Namun, hingga pertengahan Oktober 2025, performanya di lapangan masih jauh dari ekspektasi. Penampilannya belum mampu menunjukkan pengaruh signifikan seperti saat memperkuat Leverkusen.

Apakah ini pertanda bahwa Wirtz belum cocok dengan gaya main Premier League? Ataukah ia hanya butuh waktu untuk benar-benar beradaptasi?

Nama Florian Wirtz bukanlah sosok asing di sepak bola Eropa. Selama memperkuat Leverkusen, ia mencatat 57 gol dan 65 assist dari 197 laga di semua kompetisi—angka yang luar biasa untuk pemain berusia 22 tahun. Tak heran jika Liverpool berani menebusnya dengan harga selangit.

Namun, harga mahal datang dengan beban besar. Publik Anfield berharap Wirtz bisa langsung tampil menggigit, terutama setelah kehilangan beberapa pemain kunci di lini tengah. Ia bahkan langsung diberi kesempatan tampil di laga Community Shield, di mana ia menyumbang satu assist. Sayangnya, performanya menurun setelah itu.

Dalam beberapa laga Premier League, kontribusinya minim. Ia belum menambah catatan gol maupun assist, membuat sebagian fans mulai mempertanyakan keputusan klub mendatangkannya.

Premier League dikenal sebagai liga paling menuntut di dunia—baik dari sisi fisik maupun tempo permainan. Tak sedikit pemain top yang kesulitan beradaptasi di tahun pertama, termasuk nama-nama besar seperti Kai Havertz, Darwin Núñez, hingga Jack Grealish.

Wirtz kini menghadapi tantangan serupa. Gaya bermain cepat, pressing ketat, dan atmosfer stadion yang intens menjadi ujian nyata bagi mantan bintang Bundesliga itu. Namun, hal ini bukan pertanda kegagalan permanen, melainkan bagian dari proses adaptasi yang dialami hampir setiap pemain baru.

Manajer Liverpool pun tampak masih memberikan kepercayaan penuh. Wirtz tetap rutin dimainkan, baik sebagai starter maupun pemain pengganti, menunjukkan bahwa klub masih percaya akan potensinya.

Secara teknis, Wirtz tetap menunjukkan kualitas yang membuatnya menonjol di Leverkusen—visi permainan yang tajam, kemampuan dribel, dan kreativitas dalam membangun serangan. Ia hanya belum menemukan ritme yang pas dengan rekan-rekan barunya.

Beberapa legenda Liverpool bahkan menyerukan agar publik lebih sabar. Mereka menilai Wirtz punya bakat alami yang hanya butuh waktu dan kepercayaan untuk benar-benar bersinar.

Musim masih panjang. Dengan jadwal padat di liga dan kompetisi Eropa, kesempatan Wirtz untuk membalikkan situasi masih terbuka lebar. Bila mampu beradaptasi dengan cepat dan membangun chemistry dengan lini depan Liverpool, potensi ledakan performanya tinggal menunggu waktu.

Banyak pemain top yang sempat kesulitan di awal karier mereka di Inggris, namun akhirnya sukses besar. Mohamed Salah, misalnya, gagal di Chelsea sebelum menjadi legenda di Liverpool. Kevin De Bruyne juga sempat terpinggirkan di awal, namun kini menjadi salah satu gelandang terbaik dunia.

Kasus Wirtz bisa jadi mengikuti pola serupa—awal yang sulit, tapi berakhir gemilang. Faktor usia muda dan mentalitas kompetitifnya menjadi modal utama untuk bangkit.

Florian Wirtz mungkin belum memenuhi ekspektasi besar yang melekat pada namanya sejak bergabung dengan Liverpool. Namun, menilai kegagalannya di bulan-bulan awal adalah langkah terlalu dini.

Dengan kombinasi bakat, dedikasi, dan kepercayaan dari manajer serta suporter, Wirtz berpeluang besar menjelma menjadi pilar penting The Reds di masa depan.

Perjalanan kariernya di Anfield baru saja dimulai—dan bagi pemain sekelas Florian Wirtz, awal sulit bukanlah akhir cerita, melainkan bab pembuka dari kisah sukses yang sedang ia tulis. (awanda)

google-berita-mediakampung
saluran-whatsapp-mediakampung
Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Media Kampung. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.