Wacana amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 kembali mengemuka dan menjadi perbincangan publik. Sejumlah elite politik mengemukakan gagasan perubahan konstitusi dengan alasan penyesuaian terhadap dinamika zaman, mulai dari sistem pemerintahan, struktur kelembagaan negara, hingga arah pembangunan nasional. Namun, di tengah narasi tersebut, muncul kegelisahan di kalangan masyarakat. Pertanyaan mendasar pun mengemuka: apakah amandemen benar-benar ditujukan bagi kemajuan bangsa, atau justru sarat kepentingan politik tertentu yang berpotensi melemahkan demokrasi?

Konstitusi bukanlah dokumen biasa. Ia merupakan perjanjian luhur (social contract) yang menjadi fondasi utama penyelenggaraan negara. Dalam sistem hukum Indonesia, UUD 1945 berkedudukan sebagai hukum tertinggi (supreme law of the land), sehingga seluruh peraturan perundang-undangan dan tindakan pemerintah harus tunduk kepadanya. Oleh karena itu, amandemen konstitusi bukan perkara sepele. Perubahan sekecil apa pun dapat berdampak signifikan terhadap tatanan ketatanegaraan, keseimbangan kekuasaan, serta perlindungan hak-hak konstitusional warga negara.

UUD 1945 sendiri telah mengatur mekanisme perubahan secara ketat melalui Pasal 3 dan Pasal 37, yakni hanya dapat dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan dukungan sekurang-kurangnya dua pertiga anggota. Ketentuan ini dimaksudkan agar amandemen tidak dilakukan secara serampangan atau berdasarkan kepentingan politik jangka pendek.

Sejumlah pakar hukum tata negara mengingatkan bahwa persoalan utama bangsa saat ini bukan terletak pada kelemahan konstitusi, melainkan pada lemahnya implementasi. Secara normatif, UUD 1945 telah memuat prinsip perlindungan hak asasi manusia, pembatasan kekuasaan, serta mekanisme checks and balances antar lembaga negara. Namun, dalam praktiknya, berbagai penyimpangan masih terjadi, mulai dari korupsi, politisasi birokrasi, hingga pelemahan lembaga pengawasan. Dengan demikian, pertanyaan yang relevan untuk diajukan adalah apakah bangsa ini benar-benar membutuhkan amandemen, atau justru membutuhkan komitmen serius untuk menegakkan konstitusi secara konsisten.

Sebagai bagian dari komunitas akademik, saya memandang bahwa amandemen konstitusi seharusnya tidak menjadi prioritas mendesak apabila tidak disertai gagasan yang jelas, terbuka, dan berbasis kajian ilmiah. Narasi “penyempurnaan konstitusi” akan kehilangan makna jika tidak didukung oleh naskah akademik, analisis mendalam, serta alasan yang transparan kepada publik. Pengalaman sejarah politik Indonesia menunjukkan bahwa perubahan konstitusi kerap dimanfaatkan oleh kelompok tertentu untuk memperluas atau mengamankan kekuasaan. Oleh sebab itu, kecurigaan publik terhadap wacana amandemen pascapemilu merupakan sikap yang wajar dalam negara demokratis.

Dari perspektif demokrasi, kehati-hatian menjadi kunci utama. Amandemen berpotensi membuka ruang perubahan yang merugikan rakyat, seperti perpanjangan masa jabatan, pengurangan independensi lembaga peradilan, atau penguatan kekuasaan eksekutif. Padahal, prinsip pembatasan kekuasaan merupakan fondasi negara hukum demokratis. Tanpa pengawasan yang kuat, demokrasi dapat tergelincir menuju otoritarianisme secara perlahan.

Di sisi lain, tidak dapat dipungkiri bahwa terdapat sejumlah isu kontemporer yang belum diatur secara memadai dalam UUD 1945, seperti perlindungan data pribadi, isu lingkungan hidup, maupun pengawasan terhadap kekuatan ekonomi besar. Perubahan zaman menuntut konstitusi yang responsif. Namun, setiap upaya perubahan harus berorientasi pada kepentingan publik, bukan kepentingan politik praktis, serta dilakukan secara komprehensif, transparan, dan partisipatif.

Peran generasi muda, khususnya mahasiswa, menjadi sangat strategis dalam mengawal wacana ini. Mahasiswa tidak hanya berperan sebagai pengamat, tetapi juga sebagai penjaga moral konstitusi. Kampus harus menjadi ruang diskusi kritis yang membahas amandemen secara akademik dan rasional, bukan sekadar mengikuti arus narasi politik.

Sebagai langkah solutif, setidaknya terdapat tiga hal yang perlu dilakukan. Pertama, pemerintah dan MPR wajib menjamin transparansi dengan mempublikasikan kajian akademik, rencana perubahan pasal, serta dampak hukumnya secara terbuka. Kedua, pelibatan aktif masyarakat sipil, akademisi, dan mahasiswa harus menjadi bagian dari proses, melalui forum konsultasi publik dan diskusi ilmiah. Ketiga, sebelum berbicara mengenai amandemen, pemerintah seharusnya terlebih dahulu memperbaiki implementasi konstitusi, terutama dalam penegakan hukum, penguatan lembaga pengawasan, dan pemberantasan korupsi.

Wacana amandemen konstitusi bukanlah sesuatu yang keliru, tetapi harus disikapi dengan kewaspadaan konstitusional. Konstitusi yang baik bukanlah konstitusi yang sering diubah, melainkan konstitusi yang dihormati dan ditegakkan. Di balik setiap pasal yang diubah, terdapat masa depan demokrasi yang sedang dipertaruhkan.