Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) menyuarakan sikap tegas terkait bencana banjir bandang dan longsor yang melanda Sumatra Utara, Aceh, dan Sumatra Barat. Dalam pernyataan resmi yang diunggah Selasa (2/12), pimpinan tertinggi HKBP, Pendeta Victor Tinambunan, menyerukan agar gereja tidak menerima bantuan dari pihak mana pun yang dianggap terlibat dalam kerusakan lingkungan.

Victor menilai bencana besar di wilayah Tapanuli dan sekitarnya bukan semata peristiwa alam, melainkan bencana ekologis yang dipicu oleh kerusakan hutan. Ia menegaskan bahwa HKBP harus menjaga integritas moral dengan menolak bantuan dari individu, kelompok, atau perusahaan yang memiliki rekam jejak buruk terhadap kelestarian alam, termasuk PT Toba Pulp Lestari (TPL).

Menurut Victor, gereja memiliki tanggung jawab untuk menyatakan sikap jelas dalam memperjuangkan keadilan ekologis sekaligus menjadi suara moral terhadap praktik-praktik yang dinilai merusak lingkungan. HKBP juga mendesak pemerintah menghentikan izin usaha yang berdampak negatif pada ekologi serta memperkuat penegakan hukum, terutama terhadap aktivitas pembalakan liar. Ia secara khusus meminta agar operasional PT TPL dihentikan karena dinilai merusak kawasan hutan di Tapanuli Raya.

Sementara itu, PT Toba Pulp Lestari memberikan klarifikasi resmi. Dalam surat yang dikirimkan kepada Bursa Efek Indonesia, perusahaan membantah tudingan bahwa kegiatan operasional mereka menyebabkan banjir bandang yang menelan lebih dari 700 korban jiwa. Corporate Secretary TPL, Anwar Lawden, menuturkan bahwa seluruh aktivitas perusahaan berjalan sesuai standar operasional yang berlaku dan terdokumentasi.

Anwar menjelaskan bahwa dari total konsesi seluas 167.912 hektare, hanya 46.000 hektare yang dikembangkan untuk tanaman eucalyptus. Sisanya disebut tetap menjadi kawasan lindung dan area konservasi yang dipertahankan perusahaan.

Seruan moral HKBP ini menyita perhatian publik, terutama karena disampaikan di tengah duka besar akibat bencana yang melanda sejumlah wilayah di Sumatra. Sikap tegas tersebut sekaligus menegaskan kembali peran lembaga keagamaan dalam mendorong tanggung jawab ekologis, terutama ketika kerusakan lingkungan dinilai berhubungan dengan besarnya dampak bencana. (putri)