JAKARTA โ Pernikahan dalam Islam bukan sekadar ikatan sosial, melainkan akad suci yang bernilai ibadah dan memiliki konsekuensi hukum. Karena itu, setiap rangkaian yang mengiringinya, termasuk khutbah nikah, kerap menjadi bahan kajian para ulama dalam fikih munakahat.
Dalam praktik masyarakat, khutbah nikah hampir selalu disampaikan sebelum akad. Kondisi ini membuat sebagian orang beranggapan bahwa khutbah nikah merupakan bagian yang menentukan sah atau tidaknya pernikahan. Namun, pandangan tersebut perlu diluruskan berdasarkan dalil dan pendapat para ulama.
Khutbah nikah umumnya berisi pujian kepada Allah SWT, shalawat kepada Nabi Muhammad SAW, serta nasihat tentang tanggung jawab suami istri dalam membangun rumah tangga. Tradisi ini memiliki dasar kuat dalam sunnah Rasulullah SAW.
Dalil Khutbah Nikah
Anjuran khutbah nikah bersandar pada sejumlah hadits Nabi Muhammad SAW yang menekankan pentingnya memulai perkara besar dengan dzikrullah. Dalam hadits riwayat Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda:
โSetiap khutbah yang tidak di dalamnya terdapat tasyahud, maka ia seperti tangan yang terpotong.โ
Hadits lain menyebutkan:
โSetiap perkara penting yang tidak dimulai dengan memuji Allah, maka terputuslah keberkahannya.โ
Para ulama menafsirkan bahwa makna memuji Allah tidak terbatas pada lafaz tertentu, melainkan mencakup segala bentuk dzikir kepada Allah SWT. Karena pernikahan merupakan perkara besar dan sakral, maka sangat dianjurkan diawali dengan pujian dan pengagungan kepada-Nya.
Khutbah nikah yang diajarkan langsung oleh Rasulullah SAW dikenal sebagai khutbah hajat, yang diriwayatkan oleh para ahli hadits dari Abdullah bin Masโud RA. Khutbah ini memuat pujian kepada Allah, permohonan ampun, serta persaksian keimanan.
Hukum Khutbah Nikah Menurut Ulama
Dalam kajian fikih munakahat, jumhur ulama sepakat bahwa khutbah nikah bukanlah syarat sah pernikahan. Artinya, sah atau tidaknya akad nikah tidak bergantung pada ada atau tidaknya khutbah nikah.
Mayoritas ulama menetapkan hukum khutbah nikah adalah sunnah, karena Rasulullah SAW sering melakukannya, namun dalam beberapa peristiwa beliau menikahkan tanpa disebutkan adanya khutbah. Salah satu dalilnya adalah hadits ketika Rasulullah SAW menikahkan seorang sahabat dengan mahar hafalan Al-Qurโan.
Pendapat minoritas datang dari kalangan Zhahiriyah, seperti Dawud Adh-Dhahiri, yang menilai khutbah nikah hukumnya wajib. Perbedaan ini muncul dari perbedaan cara memahami perbuatan Nabi, apakah menunjukkan kewajiban atau sekadar anjuran.
Meski demikian, pendapat yang paling kuat dan diamalkan secara luas adalah bahwa khutbah nikah bersifat sunnah muakkadah, sangat dianjurkan tetapi tidak mengikat keabsahan akad.
Siapa yang Berhak Menyampaikan Khutbah Nikah?
Khutbah nikah tidak disyaratkan harus disampaikan oleh penghulu atau wali. Ia dapat dibacakan oleh siapa saja yang diberi kesempatan, termasuk mempelai atau tokoh agama. Selain itu, khutbah nikah juga tidak harus panjang dan penuh seremonial.
Para ulama bahkan mengingatkan agar tidak berlebihan dalam sambutan, hingga mengabaikan khutbah yang dicontohkan Rasulullah SAW.
Hikmah Khutbah Nikah
Khutbah nikah mengandung hikmah besar bagi kehidupan rumah tangga. Pertama, khutbah menjadi sarana edukasi dan pengingat bahwa pernikahan adalah ibadah dan perjanjian suci.
Kedua, khutbah berfungsi sebagai nasihat awal agar suami istri memahami tanggung jawab masing-masing dalam membangun keluarga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah, serta senantiasa berlandaskan ketakwaan kepada Allah SWT.
Dengan demikian, meskipun khutbah nikah tidak bersifat wajib, keberadaannya sangat dianjurkan karena mengandung nilai spiritual, moral, dan edukatif yang mendalam bagi pasangan yang akan memulai kehidupan rumah tangga. (putri).


















Tinggalkan Balasan